Jurnalis dalam Peliputan Berita Bencana

A. Bencana & Media

  • Bencana adalah peristiwa media (disaster is media event).
  • Media dapat berperan untuk menyebarkan informasi tentang bencana yang terjadi hingga membentuk karakter komunitas/masyarakat dalam menghadapi bencana.
  • Karena begitu besarnya peran media dalam menyebarkan informasi tentang bencana, maka pada dasarnya medialah yang mendefinisikan bencana berdasarkan apa yang diberitakan (dan yang tidak diberitakan) oleh media.
  • Sebagian besar orang mengetahui peristiwa bencana dari pemberitaan di media.
  • Ketika bencana, masyarakat, baik yang terdampak ataupun tidak, akan beralih ke media untuk mencari jawaban terkait perisitiwa yang terjadi. Semakin banyak orang yang tergantung pada pemberitaan media, semakin signifikan pula peran media.

B. Sistem Kerja Media di Saat Bencana

  • Meskipun media secara rutin melakukan peliputan kebencanaan, tetapi tidak ada sistem tata kelola media dalam peliputan kebencanaan.
  • Dari sisi alokasi sumber daya, media membuat para jurnalis bekerja di lokasi bencana dengan kondisi yang buruk tanpa persiapan yang cukup.
  • Dari sisi peliputan, media umumnya hanyalah dalam bentuk reaksi terhadap bencana yang sudah terjadi, tetapi tidak mengangkat isu bencana itu sendiri.
  • Yang menarik bagi media adalah bahwa bencana adalah peristiwa yang tidak biasa dan mengejutkan. Media bersemangat untuk memburu berita/up date terbaru dari kejadian bencana tersebut.

C. Fokus Pemberitaan Media

  • Di dalam produksi media, kelayakan sebuah berita menjadi sangat penting untuk ditelaah.
  • Pada saat bencana, media akan berusaha mendapat informasi sebanyak mungkin, baik dengan menggunakan data yang ada saat itu, data lama, dan menurunkan jurnalis ke lokasi bencana.
  • Media, terutama televisi nasional, membingkai peristiwa bencana dari sisi pemerintah (otoritas penanggulangan bencana).
  • Media lebih tertarik untuk membuat berita yang lebih umum, seperti jumlah korban, pemicu bencana, dan daerah-daerah yang terdampak, daripada mengangkat cerita-cerita dari para penyintas.

D. Kompetisi Media dalam Peliputan Bencana

  • Pada saat terjadi bencana, media berlomba untuk menyajikan informasi terbaru. Media saling bersaing di antara sesamanya (misalnya televisi dengan televisi) bahkan dengan warganet yang merupakan prosumer berita bencana.
  • Persaingan kecepatan membuat media mengirim informasi setengah matang, tidak berdasarkan riset yang memadai, hingga dapat menyebabkan disinformasi bahkan kepanikan di masyarakat.
  • Organisasi media umumnya memiliki sumber daya yang terbatas terutama dalam peliputan bencana besar sehingga narasi bencana yang dibuat oleh media tidak jelas awal, tengah, dan akhirnya.
  • Karena memacu dalam perlombaan kecepatan, beberapa penelitian tentang media massa dan bencana menunjukkan bahwa media menyampaikan informasi yang tidak akurat, bias, dan berlebihan.

E. Informasi yang Berlebihan (Overabbundance of Information)

  • Sebuah survei yang dilakukan pasca 9-11 di AS, publik merasa bahwa terlalu banyak liputan media tentang tragedi tersebut.
  • Pada masa pandemi Covid-19, muncul istilah infodemic, yaitu gabungan dari “informasi” dan “epidemi” yang mengacu pada penyebaran informasi yang akurat dan tidak akurat tentang pandemi. Informasi tentang pandemi dapat berubah menjadi infodemic ketika informasi (baik yang valid maupun yang tidak) menimbulkan ketakutan sehingga menjadi sulit untuk mempelajari mana informasi yang penting tentang tentang pandemi tersebut.

F. Perkembangan Teknologi Media dalam Penyebaran Berita Bencana

  • Dalam sistem media global saat ini, bencana dikonstruksi melalui interaksi antara media lama dan media baru.
  • Organisasi media mempekerjakan editor media sosial sebagai langkah pertama yang diambil media konvensional untuk mengintegrasikan penggunaan media sosial ke dalam operasi mereka.
  • Media konvensional dan media baru dioptimalkan untuk berkompetisi dalam kecepatan menyampaikan informasi terbaru kebencanaan. Hal ini semakin menambah kompleksitas operasional media pada saat bencana.

G. Peran Media dan Jurnalis Lokal

  • Pada hari-hari pertama pasca-bencana, media nasional (terutama tv) akan memborbardir khalayak dengan begitu banyak informasi. Semakin sulit untuk melihat gambaran bencana yang terjadi karena riuhnya pemberitaan.
  • Liputan media nasional umumnya berisi informasi dari otoritas di tingkat atas (pemerintah pusat), miskin dengan fakta-fakta yang diambil dari sumber lokal.
  • Media dan jurnalis lokal berperan penting untuk menyampaikan fakta tentang bencana dari versi warga setempat. Berita dari media dan jurnalis lokal akan melengkapi pemberitaan media nasional dan mengembalikan fokus pemberitaan pada cerita para penyintas.

H. Bagaimana Harusnya Tata Kelola Media dalam Peliputan Bencana?

  • Media harusnya tidak menunggu datangnya bencana atau jatuhnya korban. Media sangat berpotensi menciptakan masyarakat yang resilience/tangguh terhadap bencana dengan berperan dalam empat fase bencana.
  • Media harus mengalokasikan waktu, energi, dan sumber daya lain untuk membuat, melaksanakan, dan mengevaluasi manajemen peliputan kebencanaan yang mengutamakan kepentingan para penyintas.
  • Salah satu bentuk tata kelola media adalah dengan melakukan pelatihan terhadap para jurnalis dalam peliputan kebencanaan.

I. Peran Jurnalis dalam Peliputan Kebencanaan

  • Beberapa organisasi media memiliki kebijakan tentang peliputan kebencanaan untuk memandu para jurnalis melaksanakan tugasnya.
  • Namun, sebagian besar organisasi media tidak memiliki kebijakan khusus tentang peliputan kebencanaan. Akibatnya, ketika terjadi bencana, jurnalis dipaksa untuk segera mengumpulkan dan membuat berita. Terkadang, berita yang diterima saling bertentangan sehingga jurnalis dipaksa untuk memilih salah satunya.
  • Pemberitaan yang tidak akurat di masa bencana adalah dampak dari tidak ada manajemen peliputan kebencanaan dan beban kerja jurnalis yang sangat berat.
  • Kehadiran internet dan berkembangnya jurnalis warga, semakin besar tekanan terhadap jurnalis agar mampu memverifikasi seluruh informasi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Aktivitas Jurnalis dalam Peliputan Kebencanaan

  • Pada saat meliput peristiwa bencana, jurnalis menginformasikan hal-hal yang dia lihat, tetapi sebagian besar laporan jurnalis adalah hasil dari pengalaman dan pengamatan orang lain (penyintas). Oleh karena itu, jurnalis sangat bergantung pada orang lain dan dituntut agar mampu menilai kesahihan informasi yang diberikan.
  • Cerita tentang para penyintas, narasi bencana yang disampaikan, kengerian, ketakutan, upaya menyelamatkan diri, hingga luka dan kematian orang terdekat, adalah daya tarik utama yang dieksplorasi oleh para jurnalis.

Empati Jurnalis kepada Para Penyintas

  • Jurnalis dapat menjadi terapis jika ia mampu mendengarkan dan berempati kepada penyintas.
  • Empati adalah keterampilan manusia bawaan yang dimiliki atau tidak dimiliki seorang jurnalis, tetapi sangat diperlukan untuk menjadi jurnalis yang baik.
  • Beberapa jurnalis dengan keterampilan jurnalistik dan empati kepada penyintas maju karirnya secara signifikan.

Tekanan Jurnalis kepada Para Penyintas

  • Salah satu masalah yang disebabkan oleh wartawan adalah bahwa pada tahap awal bencana—ketika tidak ada yang tahu apa yang terjadi—mereka akan menuntut informasi spesifik tentang kerusakan dan kehancuran serta korban jiwa.
  • Bahasa non-emotif yang digunakan, baik oleh penyintas maupun personel penanggulangan bencana, bertentangan dengan keinginan jurnalis untuk menggambarkan respons emosional mereka terhadap bencana yang terjadi.
  • Tidak semua jurnalis cukup tanggap atau peka untuk memilih gaya wawancara yang sesuai dengan keadaan. Beberapa tidak cukup berpengalaman, atau tidak merasa perlu untuk mengubah gaya mereka yang biasa.
  • Seringkali jurnalis menghubungi korban/penyintas dan keluarga/komunitas mereka sebelum lembaga penanggulangan bencana. Hal ini dapat menyebabkan tekanan kepada para penyintas dan keluarga/komunitas mereka.

Jenis Informasi yang Harus Didapat Jurnalis

  • Jurnalis hanya tertarik dengan informasi terkait kerusakan, kehancuran, dan korban jiwa bahkan ketika belum ada data yang jelas tentang situasi di tahap awal bencana.
  • Jurnalis mencari penyintas yang berada dalam kondisi rapuh dan panik untuk diwawancara agar dapat mengekspos kerentanan para korban.
  • Jurnalis sedikit sekali mengalokasikan waktu untuk menelaah data tentang bencana yang terjadi dan hanya fokus pada kutipan wawancara dari lembaga terkait (yang bahkan bukan akademisi).
  • Kondisi ini diperparah dengan perkembangan teknologi media yang memaksa jurnalis untuk bekerja dalam tekanan waktu.

Gaya Pemberitaan Kebencanaan di Media Baru

  • Pada era media konvensional, para jurnalis profesional adalah sumber utama pemberitaan.
  • Pada era digital, informasi kebencanaan dapat diproduksi oleh semua warganet.
  • Yang ditampilkan di media sosial umunya data mentah, baik berupa foto maupun video, tanpa informasi yang lengkap, tidak memenuhi kaidah jurnalistik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *