Literasi Bencana

A. Literasi Kebencanaan

—Pada saat bencana, masyarakat berada pada kondisi mental yang lemah sehingga kerap mempercayai berita yang beredar di media.

—Di era media digital, pemberitaan tidak hanya dilakukan oleh jurnalis namun juga masyarakat yang berperan sebagai produsen berita yang menyampaikannya melalui media sosial; dan tidak jarang bentuk pesannya adalah hoaks.

—Tingginya terpaan media kepada masyarakat yang kemudian akan memberikan efek membingungkan masyarakat sehingga menyebabkan kepanikan pada masyarakat.

—Untuk itu diperlukan kecakapan pada masyarakat untuk memilah berita yang penting dan tidak penting. Kecakapan ini disebut dengan literasi

B. Literasi

—Literasi adalah kecakapan atau kemampuan untuk membaca dan menulis, dan memperoleh pengetahuan dan kemampuan lebih lanjut terkait dengan bidang tertentu (Kimura et al., 2017); dan selanjutnya memahami fenomena (Barton dan Hamilton, 1998)

—Literasi memang menitikberatkan pada tulisan dan baca, namun lebih dari itu literasi mengacu pada makna pesan menggunakan huruf, angka, bahasa, bunyi, yang memiliki gaya yang menarik dan berbeda  sehingga menarik perhatian (Kress, 2005)

C. Literasi Bencana

—Sehingga kemudian pemahaman dan kecakapan tentang bencana yang diaplikasikan dalam berbagai bentuk media, bagaimana masyarakat di zona rawan bencana menggunakan media untuk mengakses informasi dan bagaimana seseorang memahami dan mempraktikan informasi tersebut dlaam praktik mitigasi dan kesiapsiagaan bencana.

—Ini sejalan dengan pendapat Chen & Lee (2012) bahwa  literasi pencegahan bencana didefinisikan sebagai pengetahuan, sikap, ketrampilan pribadi terhadap pencegahan bencana.

—Selanjutnya literasi kebencanaan menurut Brown et.al (2014:267) adalah kapasitas individu dalam membaca, memahami dan menggunakan informasi tersebut untuk kemudian dibuatkan sebuah kebijakan informasi dengan mengikuti instruksi-instruksi dalam konteks mitigasi, kesiapsiagaan, respon, dan pemulihan dari bencana.

—Dimensi literasi bencana ada tiga yaitu dimensi pengetahuan pengurangan bencana, dimensi sikap pengurangan bencana, dan dimensi ketrampilan pencegahan bencana (Sung-Chin Chung & Cherng-Jyh Yen, 2016).

—Model literasi kebencanaan versi Brown et.al (2014)

—Tahap 1, adalah tahap awal literasi, minimal masyarakat maupun individu mampu membaca dan mampu mengerti instruksi-instruksi perihal mitigasi dan kesiapsiagaan bencana. Pada level ini kecenderungannya kapasitasnya masih rendah namun sudah mau mengikuti instruksi-instruksi terkait pesan-pesan kesiapsiagaan bencana, respon bencana, dan pemulihan.

—Tahap 2, adalah kemampuan secara komperhensif terkait informasi kebencanaan, dibuktikan dengan telah mengikuti rekomendasi-rekomendasi dan instruksi-instruksi. Walaupun secara individual pada tahap ini secara umum masih kurang pengalaman dalam kemampuan dalam mengolah informasi, namun kemampuan ini cukup penting sebagai bekal dalam menghadapi bencana yang bisa muncul secara tiba-tiba.

—Tahap 3, adalah motivasi dan kepercayaan diri individu untuk proaktif. Pada level ini pesan sudah mampu diterima dengan baik. Pesan bisa kemudian dimodifikasi atau ditambahkan sesuai dengan hal-hal yang familiar. Pesan bisa jadi berbeda disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan individu.

—Tahap 4, tahap ini keterlibatan individu sudah semakin jauh. Individu sudah memahami informasi lebih luas, memahami keadaan lebih luas, terutama terkait dengan hmbatan-hambatan keselamatan lingkungan dan sosial.

D. Kesimpulan

—Literasi bencana memerlukan sikap kritis seseorang atau masyarakat, sebagai bentuk bagian dari evaluasi terhadap informasi maupun pesan. Sikap kritis ini adalah bagian dari feedback terhadap pesan pada seseorang yang telah memahami serta cakap terhadap pesan serta informasi yang telah ia dapatkan.

Sensasionalisasi Berita Bencana

A. Sensasionalisasi Berita Bencana

  • Pemberitaan tentang bencana bukanlah hal yang netral. Apa yang disampaikan oleh media tidak terbentuk secara alami.
  • Keputusan tentang berita apa dan berapa lama/sering bagian berita bencana harus ditayangkan, sering berakar pada penilaian tentang apa itu bencana, korban bencana, dll.
  • Media cenderung menyukai bagian yang dramatis dari bencana untuk meningkatkan rating acara sehingga yang tampil di media adalah karakter yang disederhanakan dan menyimpang dari respon manusia terhadap bencana.

B. Mitos yang Diciptakan oleh Media

  • Akibat tingginya permintaan dan sedikitnya waktu, media seringkali fokus pada cerita paling sensasional yang akan menarik perhatian pembacanya. Kisah-kisah yang paling laris adalah kisah kematian, kehilangan, dan kehancuran meskipun itu mungkin bukan satu-satunya yang terjadi saat bencana. Pengabadian palsu ini dikenal sebagai mitos.
  • Beberapa mitos yang paling umum digambarkan oleh media adalah penjarahan, hilangnya nyawa, pencongkelan harga, kurangnya otoritas, dan kekacauan.
  • Meskipun mitos yang diciptakan tersebut masih dipertanyakan kebenarannya, tetapi setiap media percaya bahwa berita yang disampaikan adalah representasi dari realitas.

B.1. Mitos Kepanikan

  • Contoh: mitos kepanikan secara konsisten diperkuat dengan berbagai cara setelah peristiwa 9/11. Misalnya, Palang Merah Amerika secara luas dipandang sebagai sumber informasi yang terpercaya tentang kesiapsiagaan bencana. Namun, pada 2005, Palang Merah mengejutkan banyak peneliti dan profesional manajemen bencana dengan meluncurkan kampanye media cetak dan elektronik yang bertema “Saya tidak dapat menghentikan [tornado, banjir, kebakaran, angin topan, serangan teroris, dll.] tetapi Saya bisa menghentikan kepanikan.” Kampanye, yang dimaksudkan untuk mempromosikan kesiapsiagaan bencana, salah dalam dua cara. Pertama, ia menyampaikan gagasan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan orang untuk mencegah bencana, yang jelas-jelas salah; dan kedua, mengirimkan pesan bahwa kepanikan akan selalu muncul saat terjadi dan bahwa menghindari kepanikan harus menjadi prioritas utama bagi masyarakat saat terjadi bencana.
  • Banyak penelitian menunjukkan betapa jarangnya orang panik dalam suatu krisis. Lantas, apakah berita-berita media tentang bencana bergantung pada konstruksi naratif ini? Dalam banyak kasus, itu karena mitos telah diceritakan kembali berkali-kali sehingga sekarang diterima sebagai “akal sehat”—bagian dari pengetahuan bencana

B.2. Mitos Kesedihan

  • Jika penderitaan melekat pada keberadaan manusia, maka orang-orang akan mencoba memaknai kemalangan mereka dengan mengubahnya menjadi sumber kekuatan.
  • Dalam peristiwa bencana tidak semua lumpuh; hanya sedikit yang panik dan bingung, sedangkan sebagian besar anggota masyarakat, bahkan dilanda kesedihan, segera memulai kegiatan penyelamatan dan pertolongan baik secara individu maupun kelompok.

C. Memperkuat Mitos Bencana

  • Wartawan televisi mendorong orang untuk mengubah perilaku mereka sehingga visual akan sesuai dengan mitos yang dipercaya oleh media.
  • Prioritas awal media di saat bencana selalu untuk memberitakan kengerian, menyampaikan cakupan dan kualitas kekuatan kekerasan dan menyakitkan, dan menyampaikan sensasi dan pengalaman mereka yang menderita.
  • Ini diikuti oleh wacana duka, yang berfokus pada penderitaan para korban dan orang yang berduka. Kisah-kisah semacam itu, pada gilirannya, memunculkan wacana empati, yang mengkonstruksi komunitas-komunitas imajiner yang kehilangan dengan menceritakan kisah-kisah komunitas yang bertindak empati dan heroik untuk kepentingan orang lain.
  • Kemalangan korban, sifat heroik, dan hal-hal yang sensasional lainnya terus diulang oleh media untuk memperkuat mitos yang ada.

D. Framing dan Media Hype

  • Framing/pembingkaian adalah kerangka dipergunakan oleh media dalam menyampaikan informasi. Berita dapat disusun dengan kerangka yang seimbang, di mana risiko terkait bencana dimasukkan ke dalam konteks yang berguna, tetapi pada praktiknya pemberitaan tentang bencana disusun dengan kerangka sepihak yang didramatisasi dan disederhanakan.
  • Media hype atau kehebohan media adalah situasi di mana karena adanya suatu peristiwa pemicu (bencana) sehingga membuat media bergeser ke gigi yang lebih tinggi, memburu berita “baru” tentang topik tersebut.

D.1. Framing

  • Korban badai Katrina (New Orleans, 2005), mengatakan bahwa media membingkai bencana dengan cara yang sangat melebih-lebihkan bagian tentang insiden yang terjadi dan parahnya penjarahan dan pelanggaran hukum. Laporan media pada awalnya menggunakan framing “kerusuhan sipil”, kemudian mengkarakterisasi perilaku korban sebagai setara dengan perang kota. Penekanan media pada pelanggaran hukum dan perlunya kontrol sosial yang ketat mencerminkan dan memperkuat wacana politik yang menyerukan peran yang lebih besar bagi militer dalam penanggulangan bencana.
  • Seragamnya pemberitaan yang mengarahkan media, khususnya media elektronik, untuk fokus pada perilaku dramatis, tidak biasa, dan luar biasa, dapat membuat khalayak percaya bahwa perilaku seperti itu, umum dan khas terjadi pada saat bencana.

E. Dampak Negatif Sensasionalisasi Bencana

  • Penelitian menunjukkan bahwa media massa memainkan peran penting dalam menyebarkan keyakinan yang salah tentang perilaku orang di saat bencana.
  • Pelaporan media yang dramatis selama bencana dapat mengubah perilaku yang disarankan selama bencana (mitigasi dan kesiapsiagaan) dan berpotensi membahayakan individu.
  • Pemberitaan risiko kesehatan pasca-kejadian yang berlebihan menyebabkan ketakutan dan kecemasan yang tidak perlu, juga berkontribusi pada kebingungan atas masalah yang dihadapi oleh publik.
  • Mitos kepanikan yang begitu dominan dalam liputan media tentang peristiwa-peristiwa ini melemahkan kemampuan para penyintas untuk mendukung diri mereka sendiri dan orang lain dengan menggambarkan peristiwa tersebut dan mereka yang terkena dampak sebagai benar-benar tidak berdaya dan di luar kendali.
  • Penelitian yang berfokus pada bagaimana media meliput bencana telah mengidentifikasi kecenderungan pelaporan yang mengikuti pola yang sudah dikenal (mitos) tetapi gagal untuk secara memadai mengeksplorasi penyebab yang memperburuk efek bencana.

F. Kesimpulan

  • Reporter tertarik pada bahaya dan drama, sementara profesional menekankan pada pencegahan, jaminan keselamatan, dan pemulihan.
  • Asumsi yang tidak akurat tentang kemungkinan gangguan sosial dapat menyebabkan misalokasi sumber daya publik yang akan dimanfaatkan dengan lebih baik dalam memberikan bantuan langsung kepada mereka yang paling membutuhkan, dan sering kali mengarah pada solusi kebijakan yang mengintensifkan pengawasan polisi terhadap masyarakat yang terkena bencana.
  • Media dan lembaga bantuan bisa dibilang berkolusi dalam menggambarkan bencana satu dimensi dengan solusi yang sangat disederhanakan daripada membahas masalah kompleks yang membutuhkan perubahan sistemik jangka panjang yang melibatkan restrukturisasi politik dan ekonomi.

Jurnalis dalam Peliputan Berita Bencana

A. Bencana & Media

  • Bencana adalah peristiwa media (disaster is media event).
  • Media dapat berperan untuk menyebarkan informasi tentang bencana yang terjadi hingga membentuk karakter komunitas/masyarakat dalam menghadapi bencana.
  • Karena begitu besarnya peran media dalam menyebarkan informasi tentang bencana, maka pada dasarnya medialah yang mendefinisikan bencana berdasarkan apa yang diberitakan (dan yang tidak diberitakan) oleh media.
  • Sebagian besar orang mengetahui peristiwa bencana dari pemberitaan di media.
  • Ketika bencana, masyarakat, baik yang terdampak ataupun tidak, akan beralih ke media untuk mencari jawaban terkait perisitiwa yang terjadi. Semakin banyak orang yang tergantung pada pemberitaan media, semakin signifikan pula peran media.

B. Sistem Kerja Media di Saat Bencana

  • Meskipun media secara rutin melakukan peliputan kebencanaan, tetapi tidak ada sistem tata kelola media dalam peliputan kebencanaan.
  • Dari sisi alokasi sumber daya, media membuat para jurnalis bekerja di lokasi bencana dengan kondisi yang buruk tanpa persiapan yang cukup.
  • Dari sisi peliputan, media umumnya hanyalah dalam bentuk reaksi terhadap bencana yang sudah terjadi, tetapi tidak mengangkat isu bencana itu sendiri.
  • Yang menarik bagi media adalah bahwa bencana adalah peristiwa yang tidak biasa dan mengejutkan. Media bersemangat untuk memburu berita/up date terbaru dari kejadian bencana tersebut.

C. Fokus Pemberitaan Media

  • Di dalam produksi media, kelayakan sebuah berita menjadi sangat penting untuk ditelaah.
  • Pada saat bencana, media akan berusaha mendapat informasi sebanyak mungkin, baik dengan menggunakan data yang ada saat itu, data lama, dan menurunkan jurnalis ke lokasi bencana.
  • Media, terutama televisi nasional, membingkai peristiwa bencana dari sisi pemerintah (otoritas penanggulangan bencana).
  • Media lebih tertarik untuk membuat berita yang lebih umum, seperti jumlah korban, pemicu bencana, dan daerah-daerah yang terdampak, daripada mengangkat cerita-cerita dari para penyintas.

D. Kompetisi Media dalam Peliputan Bencana

  • Pada saat terjadi bencana, media berlomba untuk menyajikan informasi terbaru. Media saling bersaing di antara sesamanya (misalnya televisi dengan televisi) bahkan dengan warganet yang merupakan prosumer berita bencana.
  • Persaingan kecepatan membuat media mengirim informasi setengah matang, tidak berdasarkan riset yang memadai, hingga dapat menyebabkan disinformasi bahkan kepanikan di masyarakat.
  • Organisasi media umumnya memiliki sumber daya yang terbatas terutama dalam peliputan bencana besar sehingga narasi bencana yang dibuat oleh media tidak jelas awal, tengah, dan akhirnya.
  • Karena memacu dalam perlombaan kecepatan, beberapa penelitian tentang media massa dan bencana menunjukkan bahwa media menyampaikan informasi yang tidak akurat, bias, dan berlebihan.

E. Informasi yang Berlebihan (Overabbundance of Information)

  • Sebuah survei yang dilakukan pasca 9-11 di AS, publik merasa bahwa terlalu banyak liputan media tentang tragedi tersebut.
  • Pada masa pandemi Covid-19, muncul istilah infodemic, yaitu gabungan dari “informasi” dan “epidemi” yang mengacu pada penyebaran informasi yang akurat dan tidak akurat tentang pandemi. Informasi tentang pandemi dapat berubah menjadi infodemic ketika informasi (baik yang valid maupun yang tidak) menimbulkan ketakutan sehingga menjadi sulit untuk mempelajari mana informasi yang penting tentang tentang pandemi tersebut.

F. Perkembangan Teknologi Media dalam Penyebaran Berita Bencana

  • Dalam sistem media global saat ini, bencana dikonstruksi melalui interaksi antara media lama dan media baru.
  • Organisasi media mempekerjakan editor media sosial sebagai langkah pertama yang diambil media konvensional untuk mengintegrasikan penggunaan media sosial ke dalam operasi mereka.
  • Media konvensional dan media baru dioptimalkan untuk berkompetisi dalam kecepatan menyampaikan informasi terbaru kebencanaan. Hal ini semakin menambah kompleksitas operasional media pada saat bencana.

G. Peran Media dan Jurnalis Lokal

  • Pada hari-hari pertama pasca-bencana, media nasional (terutama tv) akan memborbardir khalayak dengan begitu banyak informasi. Semakin sulit untuk melihat gambaran bencana yang terjadi karena riuhnya pemberitaan.
  • Liputan media nasional umumnya berisi informasi dari otoritas di tingkat atas (pemerintah pusat), miskin dengan fakta-fakta yang diambil dari sumber lokal.
  • Media dan jurnalis lokal berperan penting untuk menyampaikan fakta tentang bencana dari versi warga setempat. Berita dari media dan jurnalis lokal akan melengkapi pemberitaan media nasional dan mengembalikan fokus pemberitaan pada cerita para penyintas.

H. Bagaimana Harusnya Tata Kelola Media dalam Peliputan Bencana?

  • Media harusnya tidak menunggu datangnya bencana atau jatuhnya korban. Media sangat berpotensi menciptakan masyarakat yang resilience/tangguh terhadap bencana dengan berperan dalam empat fase bencana.
  • Media harus mengalokasikan waktu, energi, dan sumber daya lain untuk membuat, melaksanakan, dan mengevaluasi manajemen peliputan kebencanaan yang mengutamakan kepentingan para penyintas.
  • Salah satu bentuk tata kelola media adalah dengan melakukan pelatihan terhadap para jurnalis dalam peliputan kebencanaan.

I. Peran Jurnalis dalam Peliputan Kebencanaan

  • Beberapa organisasi media memiliki kebijakan tentang peliputan kebencanaan untuk memandu para jurnalis melaksanakan tugasnya.
  • Namun, sebagian besar organisasi media tidak memiliki kebijakan khusus tentang peliputan kebencanaan. Akibatnya, ketika terjadi bencana, jurnalis dipaksa untuk segera mengumpulkan dan membuat berita. Terkadang, berita yang diterima saling bertentangan sehingga jurnalis dipaksa untuk memilih salah satunya.
  • Pemberitaan yang tidak akurat di masa bencana adalah dampak dari tidak ada manajemen peliputan kebencanaan dan beban kerja jurnalis yang sangat berat.
  • Kehadiran internet dan berkembangnya jurnalis warga, semakin besar tekanan terhadap jurnalis agar mampu memverifikasi seluruh informasi dalam waktu yang sesingkat mungkin.

Aktivitas Jurnalis dalam Peliputan Kebencanaan

  • Pada saat meliput peristiwa bencana, jurnalis menginformasikan hal-hal yang dia lihat, tetapi sebagian besar laporan jurnalis adalah hasil dari pengalaman dan pengamatan orang lain (penyintas). Oleh karena itu, jurnalis sangat bergantung pada orang lain dan dituntut agar mampu menilai kesahihan informasi yang diberikan.
  • Cerita tentang para penyintas, narasi bencana yang disampaikan, kengerian, ketakutan, upaya menyelamatkan diri, hingga luka dan kematian orang terdekat, adalah daya tarik utama yang dieksplorasi oleh para jurnalis.

Empati Jurnalis kepada Para Penyintas

  • Jurnalis dapat menjadi terapis jika ia mampu mendengarkan dan berempati kepada penyintas.
  • Empati adalah keterampilan manusia bawaan yang dimiliki atau tidak dimiliki seorang jurnalis, tetapi sangat diperlukan untuk menjadi jurnalis yang baik.
  • Beberapa jurnalis dengan keterampilan jurnalistik dan empati kepada penyintas maju karirnya secara signifikan.

Tekanan Jurnalis kepada Para Penyintas

  • Salah satu masalah yang disebabkan oleh wartawan adalah bahwa pada tahap awal bencana—ketika tidak ada yang tahu apa yang terjadi—mereka akan menuntut informasi spesifik tentang kerusakan dan kehancuran serta korban jiwa.
  • Bahasa non-emotif yang digunakan, baik oleh penyintas maupun personel penanggulangan bencana, bertentangan dengan keinginan jurnalis untuk menggambarkan respons emosional mereka terhadap bencana yang terjadi.
  • Tidak semua jurnalis cukup tanggap atau peka untuk memilih gaya wawancara yang sesuai dengan keadaan. Beberapa tidak cukup berpengalaman, atau tidak merasa perlu untuk mengubah gaya mereka yang biasa.
  • Seringkali jurnalis menghubungi korban/penyintas dan keluarga/komunitas mereka sebelum lembaga penanggulangan bencana. Hal ini dapat menyebabkan tekanan kepada para penyintas dan keluarga/komunitas mereka.

Jenis Informasi yang Harus Didapat Jurnalis

  • Jurnalis hanya tertarik dengan informasi terkait kerusakan, kehancuran, dan korban jiwa bahkan ketika belum ada data yang jelas tentang situasi di tahap awal bencana.
  • Jurnalis mencari penyintas yang berada dalam kondisi rapuh dan panik untuk diwawancara agar dapat mengekspos kerentanan para korban.
  • Jurnalis sedikit sekali mengalokasikan waktu untuk menelaah data tentang bencana yang terjadi dan hanya fokus pada kutipan wawancara dari lembaga terkait (yang bahkan bukan akademisi).
  • Kondisi ini diperparah dengan perkembangan teknologi media yang memaksa jurnalis untuk bekerja dalam tekanan waktu.

Gaya Pemberitaan Kebencanaan di Media Baru

  • Pada era media konvensional, para jurnalis profesional adalah sumber utama pemberitaan.
  • Pada era digital, informasi kebencanaan dapat diproduksi oleh semua warganet.
  • Yang ditampilkan di media sosial umunya data mentah, baik berupa foto maupun video, tanpa informasi yang lengkap, tidak memenuhi kaidah jurnalistik.